Liputan6.com, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) akhirnya buka suara atas perkara dugaan pencemaran nama baik Luhut Binsar Pandjaitan dengan terdakwa Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar. Menurutnya, kasus itu seharusnya tidak perlu sampai naik ke meja persidangan.
"Komnas HAM memandang bahwa kasus ini sesungguhnya tidak perlu sampai dibawa ke Pengadilan," kata Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro dalam keterangan tertulis, dikutip Sabtu (17/6).
Baca Juga
Sehingga, Atnike mengatakan pihaknya bersedia untuk hadir memberikan keterangan dan pandangan saat persidangan.
Advertisement
"Sebagaimana diatur dalam Undang- undang Nomor 39 Tahun 1999, bahwa Komnas HAM dapat memberikan pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan. Bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia," bebernya.
Adapun alasannya, lanjut Atnike, pihaknya sebelumnya melayangkan surat kepada Kejaksaan Negeri dengan nomor: 408/PM.00/K/III/2023, guna meminta keterangan proses penuntutan terhadap Haris Azhar dan Fatia.
Agar proses penuntutan sesuai dengan Pedoman Jaksa Agung Nomor 8 Tahun 2022 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.
"Meminta agar penanganan kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti mempertimbangkan status mereka sebagai pembela HAM di bidang lingkungan hidup yang memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan," bebernya.
Sesuai aturan yang telah dijamin dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Bab VI angka 1 sampai 3 Pedoman Jaksa Agung Nomor 8 Tahun 2022 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.
"Pembela HAM berperan penting untuk memastikan penghormatan dan perlindungan bagi masyarakat, terlebih masyarakat marginal. Dalam konteks kasus ini misalnya terkait dengan situasi masyarakat di Papua yang kerap mengalami marginalisasi ekonomi, dan kerusakan lingkungan," tuturnya.
Posisi Pembela HAM
Terlebih, Atnike berpandangan bahwa pemidanaan terhadap mekanisme check and balance terhadap tata kelola pemerintahan merupakan ancaman terhadap kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat.
"Komnas HAM berpendapat bahwa dalam kasus yang melibatkan hal-hal yang menjadi perhatian publik, dalam hal ini kepentingan umum. Maka penggugat atau tergugat harus membuktikan tuduhan fakta yang diduga sebagai pencemaran nama baik," ujarnya.
Di samping itu, Atnike juga menilai pengadilan seharusnya memprioritaskan penggunaan sanksi di luar sanksi denda maupun sanksi pidana dalam kasus penghinaan. Semisal diberikan hak untuk mengoreksi atau hak untuk menjawab.
Sebab, apabila sanksi yang diberikan terlalu berlebihan seperti dalam kasus Haris dan Fatia. Akan menimbulkan dampak meluas yang buruk (chilling effect), di mana warga mengalami ketakutan untuk mengekspresikan pendapatnya terhadap jalannya pemerintahan.
Padahal seyogyanya, semua pihak baik negara maupun masyarakat, perlu mengenal dan mengakui keberadaan pembela HAM serta peran dan fungsi yang dimilikinya. Dengan pemaknaan sebagai dukungan terhadap tata kelola dan kebijakan pemerintahan yang lebih baik.
"Keberadaan individu dan.organisasi pembela HAM memiliki kontribusi yang penting bagi implementasi prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) serta kehidupan demokrasi di Indonesia," ujarnya.
"Komnas HAM berharap akan tumbuhnya kesadaran publik, baik institusi dan aparatur negara maupun masyarakat, mengenai aktivitas pembela HAM, yang dilakukan oleh Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, yang juga banyak dilakukan di daerah lain," tambah dia.
Advertisement